Tiada hal Yang Lebih Indah Selain Berbagi Ilmu Antar Sesama
Pendahuluan
IQ (Intelectual Quotient) atau pengalaman, skill, pengetahuan, dan berbagai hal yang berhubungan dengan kecerdasan intelektual dan dapat meningkatkan derajat kita ke tempat yang lebih tinggi dari orang lain. Dengan begitu kesuksesan akan dapat lebih mudah dicapai. Apakah benar begitu?
Selanjutnya EQ (Emotional Quotient). Dengan kecerdasan emosional, kita justru akan lebih mendalami kecerdasan intelektual kita dalam berbuat dan berperilaku. Karena hanya dengan IQ saja, tentu sangat mustahil orang bisa meraih kesuksesan. Tergantung kesuksesannya seperti apa dulu, kalo suksesnya membunuh orang-orang nggak berdosa dengan membantainya satu persatu, dengan kemampuan menembak, merakit bom, memilih senjata, berkelahi, membuat virus komputer, melakukan aktifitas hacking dll.
Sebuah penelitian di Amerika dan Jepang menyatakan bahwa dari 100% orang sukses, hanya 10-20 persen aja yang berpendidikan tinggi, berijazah lengkap, dan tentunya dengan IQ yang di atas rata-rata, selebihnya, 80-90 persen hanya lulusan SMA, SMP, atau bahkan tidak punya latar belakang pendidikan, kebanyakan dari mereka mengawali karir dari berdagang. Hal ini membuktikan bahwa IQ bukanlah segala-galanya. Dari beberapa penelitian juga dikatakan bahwa justru orang-oarang yang ber IQ tinggi malah memiliki kesulitan dalam bergaul, berinteraksi, mengembangkan diri, dan ber-attitute baik.
Ternyata, kecerdasan IQ dan EQ aja belum cukup untuk menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang, masih ada satu hal lagi yang selama ini kita lupakan.
Memang, kedua hal tersebut sudah cukup memberikan peranan dalam meraih kesuksesan, tapi, apakah kita akan puas dengan kesuksesan-kesuksesan kita? tentunya nggak. kita akan terus meraih apa yang kita inginkan. terus dan terus menerus… Tapi pernah nggak sih kita menyadari bahwa segala hal yang kita raih dalam kesuksesan itu justru malah akan menjerumuskan kita dalam-dalam? Berbagai pengalaman yang pernah gue baca, masalahnya sama, yaitu nggak adanya kepuasan dalam hidup meski kita berada dalam kesuksesan tertinggi.
Ambil aja contoh Fulan, Fulan adalah seorang pelajar yang pintar, nilainya bagus terus dan meraih peringkat pertama di sekolahnya, hingga pada akhirnya dia disekolahkan ke luar negeri, setelah lulus, ia mengambil S2 di negeri belahan lain lagi. lalu ia kerja, mendapat posisi yang paling tinggi, dan terus begitu hingga pada akhirnya ia sadar kalau selama ini memiliki kesulitan untuk menghadapi hidup dan menganggap kesuksesan bukanlah segala2nya… masih ada lagi yang mesti ia cari… tapi apakah itu???
Ada yang bilang ketenangan sejati?
Terus bagaimana caranya agar kita dapat meraih ketenangan sejati tersebut?
sebuah pertanyaan besar,bukan?
Beberapa pakar kecerdasan telah menemukan tiga tingkatan alam dalam otak manusia, yaitu alam sadar (IQ), alam pra sadar (EQ), dan sebuah unsur terdalam otak manusia yang disebut GOD SPOT, sebuah titik terang yang berada di alam bawah sadar manusia. Hal itulah yang ternyata dapat meningkatkan potensi kecerdasan spiritual atau SQ (Spiritual Quotient) kita.
Landasan EQ dan SQ Dalam Kepemimpinan
Seorang pemimpin yang hanya berlandaskan pada IQ saja, maka visi dan misi serta orientasi kerjanya sebatas pada hal-hal yang sifatnya materialistis, matematis dan pragmatis, dengan mengenyampingkan hal-hal yang berbau spirituallits dan sentuhan hati nurani. Pencapain visi dan misi oleh pemimpin yang hanya mengandalkan IQ, dilakukan dengan prinsip just do it, sehingga segala bentuk kegagalan ataupun keberhasilan, disikapi sebagai prinsip just a game. bahkan ultimate goal nya juga masih sebatas mancari kepuasan materiil atau duniawi.
IQ (Intelectual Quotient) atau pengalaman, skill, pengetahuan, dan berbagai hal yang berhubungan dengan kecerdasan intelektual dan dapat meningkatkan derajat kita ke tempat yang lebih tinggi dari orang lain. Dengan begitu kesuksesan akan dapat lebih mudah dicapai. Apakah benar begitu?
Selanjutnya EQ (Emotional Quotient). Dengan kecerdasan emosional, kita justru akan lebih mendalami kecerdasan intelektual kita dalam berbuat dan berperilaku. Karena hanya dengan IQ saja, tentu sangat mustahil orang bisa meraih kesuksesan. Tergantung kesuksesannya seperti apa dulu, kalo suksesnya membunuh orang-orang nggak berdosa dengan membantainya satu persatu, dengan kemampuan menembak, merakit bom, memilih senjata, berkelahi, membuat virus komputer, melakukan aktifitas hacking dll.
Sebuah penelitian di Amerika dan Jepang menyatakan bahwa dari 100% orang sukses, hanya 10-20 persen aja yang berpendidikan tinggi, berijazah lengkap, dan tentunya dengan IQ yang di atas rata-rata, selebihnya, 80-90 persen hanya lulusan SMA, SMP, atau bahkan tidak punya latar belakang pendidikan, kebanyakan dari mereka mengawali karir dari berdagang. Hal ini membuktikan bahwa IQ bukanlah segala-galanya. Dari beberapa penelitian juga dikatakan bahwa justru orang-oarang yang ber IQ tinggi malah memiliki kesulitan dalam bergaul, berinteraksi, mengembangkan diri, dan ber-attitute baik.
Ternyata, kecerdasan IQ dan EQ aja belum cukup untuk menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang, masih ada satu hal lagi yang selama ini kita lupakan.
Memang, kedua hal tersebut sudah cukup memberikan peranan dalam meraih kesuksesan, tapi, apakah kita akan puas dengan kesuksesan-kesuksesan kita? tentunya nggak. kita akan terus meraih apa yang kita inginkan. terus dan terus menerus… Tapi pernah nggak sih kita menyadari bahwa segala hal yang kita raih dalam kesuksesan itu justru malah akan menjerumuskan kita dalam-dalam? Berbagai pengalaman yang pernah gue baca, masalahnya sama, yaitu nggak adanya kepuasan dalam hidup meski kita berada dalam kesuksesan tertinggi.
Ambil aja contoh Fulan, Fulan adalah seorang pelajar yang pintar, nilainya bagus terus dan meraih peringkat pertama di sekolahnya, hingga pada akhirnya dia disekolahkan ke luar negeri, setelah lulus, ia mengambil S2 di negeri belahan lain lagi. lalu ia kerja, mendapat posisi yang paling tinggi, dan terus begitu hingga pada akhirnya ia sadar kalau selama ini memiliki kesulitan untuk menghadapi hidup dan menganggap kesuksesan bukanlah segala2nya… masih ada lagi yang mesti ia cari… tapi apakah itu???
Ada yang bilang ketenangan sejati?
Terus bagaimana caranya agar kita dapat meraih ketenangan sejati tersebut?
sebuah pertanyaan besar,bukan?
Beberapa pakar kecerdasan telah menemukan tiga tingkatan alam dalam otak manusia, yaitu alam sadar (IQ), alam pra sadar (EQ), dan sebuah unsur terdalam otak manusia yang disebut GOD SPOT, sebuah titik terang yang berada di alam bawah sadar manusia. Hal itulah yang ternyata dapat meningkatkan potensi kecerdasan spiritual atau SQ (Spiritual Quotient) kita.
Landasan EQ dan SQ Dalam Kepemimpinan
Seorang pemimpin yang hanya berlandaskan pada IQ saja, maka visi dan misi serta orientasi kerjanya sebatas pada hal-hal yang sifatnya materialistis, matematis dan pragmatis, dengan mengenyampingkan hal-hal yang berbau spirituallits dan sentuhan hati nurani. Pencapain visi dan misi oleh pemimpin yang hanya mengandalkan IQ, dilakukan dengan prinsip just do it, sehingga segala bentuk kegagalan ataupun keberhasilan, disikapi sebagai prinsip just a game. bahkan ultimate goal nya juga masih sebatas mancari kepuasan materiil atau duniawi.
Pemimpin yang menerapkan
nilai-nilai EQ akan menggunakan hatinya dalam memimpin, tidak semata-mata
logika sebagaimana pendekatan IQ di atas. Penerapan EQ ini ditunjukan dengan
sifat sidik (jujur), Tabligh (berani menyampaikan kebenaran), Amanah
(terpercaya), dan Fatonah (berpendirian kuat) dalam memimpin. namun pendekatan
EQ ini sasaran akhirnya cenderung masih tetap sama dengan pendekatan IQ yakni
sebatas mengejar kepuasan materiil atau duniawi. Konon di dalam dunia
pendidikan negara maju seperti Jepang, Inggris dan Amerika ada materi tambahan
yang berkaitan erat dengan life skill dan leadership. Disitu aspekkejujuran,
pemahaman akan individu dan masyarakat, ditambah basic technology diberikan sebagai
menu sehari-hari. Namun konsep itu nampaknya masih terlepas dari nilai-nilai
luhur ajaran agama, hanya sebatas pada hubungan antar sesama manusia dengan
mengabaikan hubungan dengan Tuhan Pencipta Semesta Alam.
Pemimpin yang mendalami dan
menerapkan nilai-nilai SQ dipadukan dengan nilai-nilai EQ, ultimate goal nya
semata-mata mendapat ridha Allah SWT. Visi dan misinya sangat jauh kedepan
karena dihasilkan dari proses memahami masa lalu (sejarah) yang sangat jauh ke
belakang. Mulai dari upaya memahami penciptaan alam dan manusia sampai meyakini
bahwa tujuan akhirnya tidak lain adalah akhirat. dengan demikian visinya tidak
sebatas sampai akhir kehidupan dunia saja, tapi sampai pada kehidupan akhirat,
dimana semua perilaku kita di dunia akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah
SWT dan kita yakin bahwa pengadilan akhirat akan kita hadapi. Oleh karena itu
prinsip just do it nya adalah mengerjakan segala sesuatu dengan penuh
keikhlasan karena melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai seorang pemimpin,
semata-mata mengharap ridha Allah SWT, sehingga ukuran yang digunakannya bukan
lagi ukuran manusia tapi sudah menggunakan ukuran Tuhan Pencipta Alam Semesta.
Demikian juga dalam hal pengukuran
kinerja karyawannya, tidak seamta-mata hanya berorientasi pada hasil
seperti yang populer dikembangkan di Barat, tetapi kriteria proses untuk
mencapai hasil tersebut juga sangat diperhatikan. Kriteria berdasarkan hasil
hanya berfokus pada apa yang telah dicapai atau dihasilkan ketimbang bagaimana
sesuatu itu dicapai atau dihasilkan . Salah satu contoh definisi kinerja yang
dikemukakan seorang ahli barat John Whitmore, ” Kinerja diartikan sebagai kualitas
dan Kuantitas output dari suatu proses manajemen “. Hal ini berarti, kriteria berdasarkan hasil hanya tepat diberlakukan bagi organisasi yang tidak peduli bagaimana hasil ini dicapai. Justru inilah banyak menyebabkan timbulnya kemerosotan moral dan etika karena mereka dapat melakukan dengan berbagai cara untuk mencapai hasil yang diharapkan. Padahal definisi kinerja yang berlandaskan ESQ adalah “Hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan organisasi secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika”. dengan mengacu pada definisi ini, maka kinerja itu dapat berupa produk akhir (barang dan jasa) dan atau berbentuk perilaku, kecakapan, kompetensi, sarana dan keterampilan spesifik yang dapat mendukung pencapaian tujuan organisasi. Kriteria berdasarkan perilaku ini sangat penting karena mampu mengindentifikasikan bagaiaman pekerjaan itu dilaksanakan. Kriteri ini sangat penting khusunya bagi pekerjaan yang membutuhkan hubungan antar personal, sebagai contoh dalam toko swalayan, apakah kasir-kasirnya dean pelayannya ramah atau menyenangkan pelanggan ? Toko itu harus membuat daftar perilaku tertentu yang harus diikuti karyawan, perilaku-perilaku itu dapat diukur langsung oleh pelanggan/pembeli.
dan Kuantitas output dari suatu proses manajemen “. Hal ini berarti, kriteria berdasarkan hasil hanya tepat diberlakukan bagi organisasi yang tidak peduli bagaimana hasil ini dicapai. Justru inilah banyak menyebabkan timbulnya kemerosotan moral dan etika karena mereka dapat melakukan dengan berbagai cara untuk mencapai hasil yang diharapkan. Padahal definisi kinerja yang berlandaskan ESQ adalah “Hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan organisasi secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika”. dengan mengacu pada definisi ini, maka kinerja itu dapat berupa produk akhir (barang dan jasa) dan atau berbentuk perilaku, kecakapan, kompetensi, sarana dan keterampilan spesifik yang dapat mendukung pencapaian tujuan organisasi. Kriteria berdasarkan perilaku ini sangat penting karena mampu mengindentifikasikan bagaiaman pekerjaan itu dilaksanakan. Kriteri ini sangat penting khusunya bagi pekerjaan yang membutuhkan hubungan antar personal, sebagai contoh dalam toko swalayan, apakah kasir-kasirnya dean pelayannya ramah atau menyenangkan pelanggan ? Toko itu harus membuat daftar perilaku tertentu yang harus diikuti karyawan, perilaku-perilaku itu dapat diukur langsung oleh pelanggan/pembeli.
Konsep Kesimbangan AQ, IQ, EQ dan
SQ dalam Kurikulum Pendidikan.
Di lingkungan dunia pendidikan,
keseluruhan aspek kecerdasan (IQ, EQ, SQ dan AQ) perlu mendapat bobot perhatian
yang seimbang. Hal ini penting mengingat IQ saja tidak menjamin keberhasilan
hidupseseorang, demikian jugab kalau haya sekedar SQ dan EQ tidak akan mampu
mendukung keberhasilan hidup seseorang secara utuh, material dan
spritual.Penerapan keseluruhan aspek kecerdasan ini sangat efektif kalau
dilakukan dalam kegiatan bimbingan konseling disetiap lembaga pendidikan.
Pemahaman EQ dan SQ akan lebih mudah dilakukan melalui kegiatan tatap muka
secara langsung dengan menggugah hati nurani setiap peserta didik untuk
berperilaku baik dan mampu negendalikan diri serta berinteraksi dengan orang
lain secara baik pula. Kalau bimbingan konseling ini sudah dilakukan secara
efektif dengan memesukan semua aspek kecerdasan yang diperlukan, maka sudah
saatnya penilaian keberhasilan siswa/peserta didik tidak sekedar pada tataran
output (produk), tapi bagaimana proses untuk mencapai output tersebut .
Penilaian keberhasilan peserta didik bukan hanya dilihat dari ketepatapan waktu
menyelesaikan seluruh program studi, tapi bagaimana perilaku siswa saat
mengikuti evaluasi/ujian, apakh dengan cara -cara yang jujur, tidak mencontek
atau tidak menjiplak makalah orang lain, tidak berupaya mencari bocoran soal
dari lain-lain.
Kalau kriteria tidak secara
cermat dipantau dan diperhitungkan, maka hasilnya akan nampak takala lulusan
ini mengabdikan ilmunya ditempat kerja, ia akan terbiasa berperilaku tidak
jujur, korupsi, kolusi, dan perilaku amoral lainnya ia akan selalu mencari
jalan pintas yang mudah ia lakukan untuk mencapai tujuannya walaupun harus
menyikut orang lain, menginjak kepala orang, melanggar norma dan autran yang
ada, dan lain-lain. Padahal kalau seseorang memiliki kecerdasan adversitas (
Adversity Intelligence) akan mampu menghadapi rintangan atau halangan yang
menghadang dalam mencapai tujuan. Menurut Stoltz(2000) indikator-indikatornya dapat
dikelompokkan menjadi empat dimensi, yakni dimensi kendali, dimensi asal usul
dan pengakuan, dimensi jangkauan serta dimensi daya tahan . Dimensi kendali
terkait dengan EQ yakni sejauh mana seseorang mampu mengelola kesulitan yang
akan datang. Dimensi kedua tentang tentang asal usul sangat terkait erat dengan
SQ, yakni sejauhmana seseorang mempersalahkan dirinya ketika ia mendapati bahwa
kesalahan tersebut berasal dari dirinya, atau sejauhmana seseorang
mempersalahkan orang lain atau lingkungan yang menjadi sumber kesulitan dan
kegagalannya. Dan yang lebih penting lagi adalah, sejauh mana kesediaan untuk
bertanggung jawab atas kesalahan atau kegagalan tersebut.
Makin tinggi kesediaan seseorang
untuk bertanggung jawab atas kegagalan atau kesulitan yang menghadang, makin
tinggi usaha yang dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut. Dimensi jangkauan
yang menyatakan sejauhmana kesulitan ini akan merambah kehidupan seseorang
menunjukkan, bagaimana suatu masalah mengganggu aktivitas lainnya, sekalipun
tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. Dalam teori kecerdasan
emosional, menurut Goleman kata jangkauan ini berhubungan dengan lamanya
seseorang terlarut dala suasana hati yang tidak menentu. Dimensi daya tahan
dimaksudkan bahwa makin tinggi daya tahan seseorang, makin mampu menghadapi
berbagai kesukaran yang dihadapinya. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa AQ
sangat berhubungan erat dengan IQ, EQ dan SQ. Pengukuran kecerdasan adversitas
yang dinyatakan dengan AQ (Adversity Quotient) yaitu nilai yang diperoleh
dengan pembagian tertentu.
Memahami Potensi Qalbu Dalam
Kepemimpinan
Setiap manusia akan dipengaruhi
oleh dua bisikan ke dalam qalbunya yakni bisikan baik dari malaikat dan bisikan
buruk/jahat dari iblis/syetan. Sementara itu akal kita akan dipengaruhi oleh
faktor lingkungan yang ada disekitarnya melalui penglihatan dan pendengaran
yakni fenomena alam, tata nilai, adat, budaya dll. Dalam menyaring input-input
ini terjadi interaksiantara akal dan kalbu. Kalbu dengan dimensi Shadr nya akan
mengolah hal-hal yang menyangkut aspek emosional. Shadr adalah potensi kalbu
untuk menangkap seluruh nuansa alam dan manusia dari kacamata rasa, yang
mencakup kepekaan atas keindahan, kesopanan, dan kelembutan. Shadr ini juga
mempunyai potensi untuk mampu memberikan penghargaan atau apresiasi terhadap
nilai-nilai keindahan, budaya dan menghormati orang lain.
Dimensi fu’ad memberikan ruang
untuk akal, berfikir, bertafakur, memilih dan mengolah seluruh data yang masuk
dalam qalbu dan aqal manusia. Fu’ad melihat berbagai alamat (tanda) yang
kemudian menjadi ilmu untuk mewujudkannya dalam bentuk amal/perilaku. Pengawal
setia Fu’ad ini adalah akal, zikir, pikir, pendengaran, dan penglihatan. Fungsi
akal membantu fua`ad untuk menangkap seluruh fenomena yang bersifat lahir,
wujud, dan nyata dengan mendayagunakan fungsi nazhar “indra penglihatan”
sedangkan hal-hal yang bersifat perenungan. pemahaman mendalam terhadap hakikat
yang bersifat ghalib tidak nyata, dan tidak tampak dalam penglihatan diserahkan
kepada potensi pikir dengan mendayagunakan fungsi sam`a “pendengaran”. Akal
berkaitan dengan keadaan untuk menangkap seluruh gejala alam yang tampak nyata.
Seseorang yang IQ nya tinggi
belum tentu termasuk katagori orang yang mendayagunakan fu`ad untuk mengenal
hakikat dari penciptaan langit dan bumi serta segala yang tampak. Fu`ad dengan
kandungan akal, zikir dan pikir mampu mengetuk nurani untuk mengambil keputusan
secara kritis, berani bertindak, dan bertanggung jawab. Dalam mengambil sikap
atau keputusan, peranan fu`ad merupakan pasukan qalbu yang paling aterdepan.
Fu`ad tampil sebagai assabiqunal awwalun dari pendayagunaan potensi
qalbu. Fu`ad yang berfungsi akan menyebabkan diri kita selalu terlibat dalam
tanya jawab, apakah dirinya berpihak kepada kebenaran ataukah sedang berada
dalam posisi yang salah.
Keseluruhan interaksi dari ketiga
potensi qalbu ini kemudian akan dirangkum dalam nafs (ego) nafs inilah yang
akan mengambil keputusan akhir yang akan ditindaklanjuti secara fisiologis.
Hidup manusia diwarnai oleh pertarungan sengit antara malaikat dan iblis
untukmemperebutkan posisi strategis di dalam nafs. Oleh karena itu semua
perbuatan manusia selalu didahului pro-kontra, terutama jika perbuatan itu
belum menjadi sesuatu yang lazim dilakukan oleh yang bersangkutan, kalau yang
menang adalah iblis/syetan, perbuatannya sudah dapat dipastikan perbautan buruk
yang akan merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Sedangkan jika yang
menang adalah malaikat, maka akan terjadi sebaliknya.
Seluruh potensi qalbu harus selalu
disinari cahaya illahi (Ruh kebenaran), sehingga ia akan tetap berada didalam
jalan kebenaran, mengingat peranan iblis yang dengan gigih berusaha untuk
memadamkan cahaya illahi dan menggantinya dengan nyala api yang bernuatan
elemen-elemen rendah dan fana yang penuh dengan nafsu hewaniah, maka seorang
pemimpin harus memiliki kemampuan untuk bertanya kepada hati nurani dan
menggugah hati nurani masyarakat yang dipimpinnya, sehingga dapat melaksankan
berbagai kebijakan pimpinannya dengan baik. inilah inti dari pelaksanaan
manajemen sialturahmi, yang mendayagunakan peran hati nurani, sehingga
implementasi dari silaturahmi ini bukan hanya sekedar perbuatan
lahir/fisik/jasad, tapi sudah melibatkan peran hati nurani, yang ditunjukkan
dengan ketulusan untuk saling mencintai dan menyayangi sehingga timbul saling
percaya, saling hormat menghormati antara pemimpin dan bawahannya.
Kesimpulan dan Saran
Faktor keberhasilan seseorang
didalam memimpin ternyata bukan semata-mata ditentukan oleh faktor pendidikan
formal atau bahkan bukan ditentukan oleh kemampuan dan kecerdasan inteltual,
tapi kontribusi terbesar yang mendukung keberhasilan seseorang adalah kemampuan
berinteraksi dengan orang lain dalam wujud siltarturahmi basa-basi atau
seremonial, tapi silaturahmi yang ikhlas semata-mata untuk mewujudkan dan
mempererat tali kasih sayang. Tidak ada artinya tangan bersalaman dan saling
tegus sapa antara pimpinan dan bawahannya, tapi hatinya tidak ikut bersalaman.
Tidak ada gunanya kalau seorang pemimpin menggembar -gemborkan perlunya
silturahmi tapi ia tidak memberikan contoh yang baik dalam melaksanakan
siltaturahmi yang berkualitas. Kadang-kadang ada pemimpin yangmampu
bersilaturahmi dengan sebagian kecil kelompok, sementara kelompok yang lain
diabaikan bahkan luput dari perhatiannya. Hal ini berarti manajemen silaturahmi
belum dijalankan dengan baik, sehingga tidak dapat menyelesaikan berbagai
persoalan di lingkungan dan leadership dalam setiap jenjang pendidikan.
Kurikulum pendidikan harus
mengarah pada peningkatan kompetensi berkenaan dengan keterampilan hidup.
Keterampilan hidup yang dimaksud bukan hanya kompetensi untuk memperoleh
pengetahuan dan untuk memperoleh pengetahuan dan untuk tumbuh berkembang bagi
diri sendiri, seperti kemampuan membaca, menulis, berhitung, hidup sehat dan
lain-lain, tetapi perlu diberikan kompetensi organisasi dengan baik. Konsep
manajemen silaturahmi (Masil) menghendaki agar semua persoalan dapat
diselesaikan melalui pendekatan hati nurani, dengan prinsip saling menyayangi
diantara sesama manusia. Keterampilan hidup yang lebih luas, baik di rumah, di
tempat kerja maupun di lingkungan masyarakat, sehingga anak didik mampu
menghayati kehidupan dan lingkungannya. Dalam hal ini kemampuan intra
personal dan inter personal sangat mendukung untuk maksud tersebut,
agar dapat menjalin hubungan dengan orang lain secara baik dan efektif.
Dalam upaya mewujudkan gagasan
itu program jangka penjangnya perlu ada upaya penyempurnaan system pendidikan
nasional kita sebagaimana diterapkan di negara maju yakni memberikan
muatan-muatan life skill.
*) Ir. Nana Rukmana D.W, M.A,
Kabid program dan Evaluasi
Pusdiklat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar