KEKERASAN PADA ISTRI DALAM RUMAH TANGGA
A. Latar Belakang
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang
mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum.
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku
dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk
tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam
rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status
sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial
yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para
penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal
yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki
ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya
berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri
dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat:
tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal
yaitu perkawinan. (Hasbianto, 1996).
Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat
dipahami melalui konteks sosial. Menurut
Berger (1990), perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan
demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk prilaku
individu artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal
yang muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi
nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri.
Mave Cormack dan Stathern (1990) menjelaskan terbentuknya dominasi
laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam
proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan. Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak
kepada perempuan (nature). Secara
kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena
itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan. Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek
sosiokultural telah membentuk social
structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga
mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan berkeluarga.
Sebagian besar perempuan
sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang dihadapi. Ini memantapkan kondisi tersembunyi
terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon
masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan. Istri memendam sendiri persoalan tersebut,
tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru,
suami dominan terhadap istri. Rumah
tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat
otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan
kekuasaan publik.
Campur tangan terhadap
kepentingan masing-masing rumah tangga merupakan perbuatan yang tidak pantas,
sehingga timbul sikap pembiaran (permissiveness)
berlangsungnya kekerasan di dalam rumah tangga.
Menurut Murray A. Strause (1996), bahwa kekerasan dalam rumah tangga
merupakan moralitas pribadi dalam rangka mengatur dan menegakkan rumah tangga
sehingga terbebas dari jangkauan kekuasaan publik.
Di Indonesia data tentang
kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan secara sistematis pada tingkat
nasional. Laporan dari institusi pusat
krisis perempuan, menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap
perempuan,. Menurut Komisi Perempuan
(2005) mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak kekerasan sudah
menikah dan pelakunya selalu suami mereka.
Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang melapor pelakunya adalah
para suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari
perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun. Pusat Krisis Perempuan di Jakarta (2005); 9
dari 10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari satu jenis
kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian),
hampir 17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan.
Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis Centre (RAWCC, 1995) tentang
kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262 responden (istri) menunjukan 48%
perempuan (istri) mengalami kekerasan verbal, dan 2% mengalami kekerasan
fisik. Tingkat pendidikan dan pekerjaan
suami (pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2);
pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI.
Korban (istri) yang bekerja dan tidak bekerja mengalami kekerasan
termasuk penghasilan istri yang lebih besar dari suami (RAWCC, 1995).
Hasil penelitian kekerasan
pada istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower (1998) mengidentifikasi dari 100
responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37 orang mengatakan
pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa
psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19
orang), kekerasan fisik (11 orang).
Temuan lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu kekerasan
saja. Dari 37 responden, 20 responden
mengalami labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat
antara istri (korban) dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang
menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka suami melakukan kekerasan
fisik.
Dari penelitian ini terungkap
bahwa sebagai suami yang melakukan tindak kekerasan kepada istri meyakini
kebenaran tindakannya itu, karena prilaku istri dianggap tidak menurut kepada
suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi tanpa pamit. Hal ini diyakini oleh pihak istri, sehingga
mereka mengalami kekerasan dari suaminya dan cenderung diam tidak membantah.
Penelitian yang mengkaitkan
tindak kekerasan pada istri yang berdampak pada kesehatan reproduksi masih
sedikit. Menurut Hasbianto (1996),
dikatakan secara psikologi tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga
menyebabkan gangguan emosi, kecemasan, depresi yang secara konsekuensi logis
dapat mempengaruhi kesehatan reproduksinya.
Menurut model Dixon-Mudler (1993) tentang kaitan antara kerangka
seksualitas atau gender dengan kesehatan reproduksi; pemaksaan hubungan seksual
atau tindak kekerasan terhadap istri mempengaruhi kesehatan seksual istri. Jadi tindak kekerasan dalam konteks kesehatan
reproduksi dapat dianggap tindakan yang mengancam kesehatan seksual istri,
karena hal tersebut menganggu psikologi istri baik pada saat melakukan hubungan
seksual maupun tidak.
Dari latar belakang ini,
penulis tertarik untuk membahas lebih jauh mengenai tindakan kekerasan pada
istri dalam rumah tangga berdampak terhadap kesehatan reproduksi.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan
Umum: mampu memahami secara menyeluruh tentang tindak kekerasan pada istri
dalam rumah tangga dan dampaknya terhadap kesehatan reproduksi perempuan serta
implikasi keperawatan yang dapat diberikan.
2. Tujuan Khusus:
a. Dapat
mengidentifikasi bentuk tindakan kekerasan dan kategori pada istri dalam rumah tangga.
b. Dapat menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadi tindak kekerasan
dalam rumah tangga.
c.
Memperoleh persepsi istri terhadap tindakan kekerasan yang dialaminya.
d. Dapat
menjelaskan dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan
repro-duksinya.
e. Dapat
mengetahui adanya issu tentang kekerasan dalam rumah tangga
f. Dapat
mengimplikasikan peran perawat dalam melakukan pendampingan korban tindak
kekerasan dalam rumah tangga
II. PEMBAHASAN
A. Kekerasan Terhadap Perempuan
Komnas Perempuan (2001)
menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala tindakan kekerasan
yang dilakukan terhadap perempuan yang berakibat atau kecenderungan untuk
mengakibatkan kerugian dan penderitaan fisik, seksual, maupun psikologis
terhadap perempuan, baik perempuan dewasa atau anak perempuan dan remaja. Termasuk didalamnya ancaman, pemaksaan maupun
secara sengaja meng-kungkung kebebasan perempuan. Tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dapat terjadi dalam
lingkungan keluarga atau masyarakat.
Kekerasan dalam rumah tangga
menurut Undang-undang RI no. 23 tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau pe-rampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Tindakan kekerasan terhadap
istri dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali
terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu tertutup. Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan
penyiksaan baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai
hubungan yang dekat.
Tindak kekerasan terhadap
istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa masyarakat
atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana laki-laki
adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk
menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan perempuan
tersubordinasi. Di samping itu, terdapat interpretasi yang keliru terhadap
stereotipi jender yang tersosialisasi amat lama dimana perempuan dianggap
lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat. Sesuai dengan yang dinyatakan
oleh Sciortino dan Smyth, 1997; Suara APIK,1997, bahwa menguasai atau memukul
istri sebenarnya merupakan manifestasi dari sifat superior laki-laki terhadap
perempuan.
Kecenderungan tindak kekerasan
dalam rumah tangga terjadinya karena faktor dukungan sosial dan kultur (budaya)
dimana istri di persepsikan orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara
apa saja. Hal ini muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari
masa lalu, istri harus nurut kata suami, bila istri mendebat suami, dipukul.
Kultur di masyarakat suami lebih dominan pada istri, ada tindak kekerasan dalam
rumah tangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak boleh ikut campur (http://kompas.com).
Saat ini dengan berlakunya
undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga disetujui tahun 2004, maka
tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya urusan suami istri tetapi sudah
menjadi urusan publik. Keluarga dan masyarakat dapat ikut mencegah dan
mengawasi bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga (http://kompas.com).
B. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak
kekerasan terhadap istri dalam rumah
tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang
termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi,
menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai
dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti
bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan
secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau
merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau
,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian
(menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual,
memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah
tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri (http://kompas.com., 2006).
C. Faktor-faktor yang mendorong terjadi kekerasan
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi
pria dalam konteks struktur masya-rakat dan keluarga, yang memungkinkan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber
daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan
wanita.
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita
untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan
ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung
beban sebagai pengasuh anak. Ketika
terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan
istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak
konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki
menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan
mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.
Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang
bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga
yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum,
sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak
hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang
bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
D. Dampak kekerasan terhadap kesehatan reproduksi.
Kesehatan reproduksi menurut
ICPD (1994) adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara
utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang
berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya.
Masalah kesehatan perempuan
merupakan masalah penting dan serius karena sejak dua dekade terakhir Angka
Kematian Ibu (AKI) tidak pernah turun. Berdasarkan hasil penelitian SKRT (2000)
AKI sebesar 396 / 100000, Aborsi tidak aman berkontribusi terhadap AKI : 11-17
% (Herdayati, 2002), bisa mencapai 50 % (Azrul Azwar, 2003). Angka aborsi 2-2,3
juta/tahun (Utomo, 2001), pelaku Aborsi 87 % wanita kawin, penyebab : 57,5 %
Psikososial dan 36 % gagal KB (YKP, 2002).
Menurut Suryakusuma (1995)
efek psikologis penganiayaan bagi banyak perempuan lebih parah dibanding efek
fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan
reaksi panjang dari tindak kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak
kekerasan terhadap istri juga meng-akibatkan kesehatan reproduksi terganggu
secara biologis yang pada akhirnya meng-akibatkan terganggunya secara
sosiologis. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri
karena berusaha menyembunyikan bukti penganiayaan mereka.
Sehubungan dengan dampak
tindak kekerasan terhadap kehidupan seksual dan repro-duksi perempuan,
penelitian yang dilakukan oleh Rance (1994) yang dikutip oleh Heise, Moore dan
Toubia (1995) kekerasan dan dominasi laki-laki dapat membatasi dan membentuk
kehidupan seksual dan reproduksi perempuan. Selain itu, laki-laki juga sangat
berpengaruh dalam pengambilan keputusan tentang alat kontrasepsi yang dipakai
oleh pasangannya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan di Norwegia oleh Schei dan Bakketeig (1989)
yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) juga menyatakan bahwa
perempuan yang tinggal dengan pasangan yang suka melakukan tindak kekerasan
menunjukkan masalah-masalah ginekologis yang lebih berat ketim-bang dengan yang
tinggal dengan pasangan/suami normal ; bahkan problem gineko-logis ini bisa
berlanjut dalam rasa sakit terus menerus.
Tindak kekerasan terhadap
istri perlu diungkap untuk mencari alternatif pemberdayaan bagi istri agar
terhindar dari tindak kekerasan yang tidak semestinya terjadi demi terwujudnya
hak perempuan untuk memperoleh kesehatan reproduksi yang sehat.
Perempuan terganggu kesehatan
reproduksinya bila pada saat tidak hamil mengalami gangguan menstruasi seperti
menorrhagia, hipomenorrhagia atau metrorhagia bahkan wanita dapat mengalami
menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido, ketidakmampuan
mendapatkan orgasme, akibat tindak kekerasan yang dialaminya.
Di seluruh dunia satu diantara
empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangannya. Pada
saat hamil, dapat terjadi keguguran / abortus, persalinan imatur dan bayi
meninggal dalam rahim.
Pada saat bersalin, perempuan
akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus,
persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan
dapat melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik
atau bayi lahir mati.
Dampak lain yang juga
mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga diantaranya
adalah perubahan pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga. Dampak terhadap pola fikir istri. Tindak
kekerasan juga berakibat mempengaruhi cara berfikir korban, misalnya tidak
mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga
(paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada apa yang
terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik
dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk
tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular
(www.depkes.go.id).
Dampak terhadap ekonomi
keluarga. Dampak lain dari tindakan kekerasan meskipun tidak selalu adalah
persoalan ekonomi, menimpa tidak saja perempuan yang tidak bekerja tetapi juga
perempuan yang mencari nafkah. Seperti terputusnya akses ekono-mi secara
mendadak, kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga untuk
hunian, kepindahan, pengobatan dan terapi serta ongkos perkara.
Dampak terhadap status emosi istri. Istri dapat mengalami
depresi, penyalahgunaan / pemakaian zat-zat tertentu (obat-obatan dan alkohol),
kecemasan, percobaan bunuh diri, keadaan pasca trauma dan rendahnya kepercayaan
diri.
E. Issu tentang kekerasan dalam rumah tangga.
Isu penindasan terhadap wanita terus menerus
menjadi perbincangan hangat. Salah
satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan
penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara
yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW)
melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan
telah di artifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah
disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga’.
Perjuangan penghapusan KDRT berangkat dari
fakta banyaknya kasus KDRT yang terjadi dengan korban mayoritas perempuan dan
anak-anak. Hal ini berdasarkan sejumlah temuan Komisi Nasional Anti-Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari berbagai organisasi penyedia layanan
korban kekerasan.
Tanggal 22 September 2004 merupakan
tanggal bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut, perjuangan
perempuan Indonesia, terutama yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Kebijakan
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka-PKTP), yang merupakan gabungan
LSM perempuan se-Indonesia, membuahkan hasil disahkannya RUU Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi UU.
Kelompok mencoba
mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga yaitu pertama faktor pembelaan atas kekuasaan laki-laki dimana
laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita,
sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita. Kedua, faktor Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi,
dimana diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja
mengakibatkan perempuan (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami
kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. Ketiga, faktor
beban pengasuhan anak dimana istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung
beban sebagai pengasuh anak. Ketika
terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan
istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga. Keempat yaitu faktor wanita
sebagai anak-anak, dimana konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki
menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan
mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.
Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang
bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib, Kelima faktor
orientasi peradilan pidana pada laki-laki, dimana posisi wanita sebagai istri
di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai
pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak
hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang
bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
Penerapan sistem itu telah
meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi ekonomi
misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia.
Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan pemerataan.
Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku
kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi
perekonomian bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis
kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara
mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang
menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk
munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan
dalam hal ekonomi.
Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang
tegas dan membuat jera pelaku telah melanggengkan kekerasan atau kejahatan di
masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan, pelaku perzinaan
yang malah dibiarkan, dan lain lain. Dari sisi sosial-budaya, gaya hidup
hedonistik yang melahirkan perilaku permisif, kebebasan berperilaku dan seks
bebas, telah menumbuh-suburkan perilaku penyimpangan seksual seperti
homoseksual, lesbianisme dan hubungan seks disertai kekerasan.
Dari sisi pendidikan, menggejalanya
kebodohan telah memicu ketidak-pahaman sebagian masyarakat mengenai dampak-dampak
kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku santun. Ini akibat
rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan pendidikan, sehingga
kapitalisasi pendidikan hanya berpihak pada orang-orang berduit saja. Lahirlah
kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan kemerosotan pemikiran
masyarakat, sehingga perilakupun berada pada derajat sangat rendah.
Untuk persoalan ini, dibutuhkan penerapan hukum yang
menyeluruh oleh negara. Kalau tidak akan terjadi ketimpangan. Sebagai contoh
sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau faktor ekonomi tidak diperbaiki.
Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan ekonomi. Kekerasaan dalam
rumah tangga, kalau hanya dilihat dari istri harus mengabdi kepada suami,
pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada
istri. Kekerasaan yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa
diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum yang tegas dan
menyeluruh.
Menurut pasal 11 UU PKDRT, pemerintah
bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dan
menurut pasal 12 ayat (1) menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang
kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun,
nyatanya, sosialisasi dan advokasi kekerasan dalam rumah tangga masih minim.
Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui apalagi memahami UU PKDRT, bahkan
di kalangan aparat penegak hukum masih timbul berbagai persepsi.
Sehubungan dengan banyaknya hal baru
dalam UU PKDRT yang tidak ditemukan dalam UU lain, seperti perlindungan
sementara dan perintah perlindungan, juga adanya tindak pidana berupa jenis
kekerasan lain di luar kekerasan fisik, diperlukan pendidikan dan pelatihan
yang memadai bagi aparat penegak hukum dan pekerja sosial untuk menyamakan persepsi.
Di samping itu, diperlukan sosialisasi
yang memadai bagi masyarakat luas, terutama bagi para pihak yang berpotensi
melakukan KDRT, sebagai upaya pencegahan. Bagi pihak yang mungkin menjadi
korban KDRT, sosialisasi perlu, agar bila terjadi KDRT, ia dapat memperbaiki
nasibnya karena telah mengetahui hak-haknya.
UU PKDRT perlu direvisi pada
bagian-bagian yang rancu dan perlu penambahan jenis kekerasan, seperti
kekerasan ekonomi dan kekerasan sosial. Selain itu, diperlukan harmonisasi peraturan perundang-undangan
yang tidak sejalan dengan napas kesetaraan gender, antara lain dengan merevisi
UU Perkawinan, agar peraturan perundang-undangan bisa saling mendukung dan
tidak saling bertentangan, supaya UU PKDRT dapat dirasakan efektivitasnya.
Penegakan hukum UU PKDRT tidak akan
terlepas dari penegakan hukum pada umumnya. Apabila negara tidak dapat
menciptakan supremasi hukum, perlindungan yang diatur dalam UU PKDRT hanya akan
berupa law in book (teori) belaka, sedangkan dalam law in action
(praktik) akan sulit terwujud. Oleh karena itu, supremasi hukum harus
ditegakkan.
F.
Implikasi keperawatan yang dapat diberikan
untuk menolong kaum
perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah :
1.
Merekomendasikan tempat perlindungan seperti crisis
center, shelter dan one stop crisis center.
2. Memberikan pendampingan psikologis dan
pelayanan pengobatan fisik korban. Disini perawat dapat berperan dengan fokus
meningkatkan harga diri korban, memfasilitasi ekspresi perasaan korban, dan
meningkatkan lingkungan sosial yang memungkinkan. Perawat berperan penting
dalam upaya membantu korban kekerasan diantaranya melalui upaya pencegahan
primer terdiri dari konseling keluarga, modifikasi lingkungan sosial budaya dan
pembinaan spiritual, upaya pencegahan sekunder
dengan penerapan asuhan keperawatan sesuai permasalah-an yang dihadapi
klien, dan pencegaha tertier melalui pelatihan/pendidikan, pem-bentukan dan
proses kelompok serta pelayanan rehabilitasi.
3. Memberikan pendampingan hukum dalam acara
peradilan.
4. Melatih kader-kader (LSM) untuk mampu
menjadi pendampingan korban kekerasan.
5. Mengadakan pelatihan mengenai perlindungan
pada korban tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai bekal perawat untuk
mendampingi korban.
III. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Tindak kekerasan dalam rumah tangga
merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapat perhatian dan jangkauan hukum
pidana. Bentuk kekerasannya dapat berupa kekerasan fisik,
psikis, seksual, dan verbal serta penelantaran rumah tangga.
2. Faktor yang mendorong terjadinya tindak
kekerasan pada istri dalam rumah tangga
yaitu pembelaan atas kekuasaan laki-laki, diskriminasi dan pembatasan bidang
ekonomi, beban pengasuhan anak, wanita sebagai anak-anak, dan orientasi
peradilan pidana pada laki-laki.
3. Dampak tindak kekerasan pada istri
terhadap kesehatan reproduksi dapat mempengaruhi psikologis ibu sehingga
terjadi gangguan pada saat kehamilan dan bersalin, serta setelah melahirkan dan
bayi yang dilahirkan.
4. Implikasi keperawatan yang harus dilakukan
adalah sesuai dengan peran perawat antara lain mesupport secara psikologis korban, melakukan pendamping-an,
melakukan perawatan fisik korban dan merekomendasikan crisis women centre.
5. Fenomena gunung es KDRT mulai terungkap
setelah undang-undang KDRT tahun 2004 diberlakukan, dimana KDRT yang sebelumnya
masalah privacy manjadi masalah publik ditandai laporan kasus KDRT semakin
meningkat setiap tahunnya dan pelaku mendapat hukuman pidana walaupun saat ini
kultur Indonesia masih dominasi laki-laki.
B. SARAN
Dengan disahkan undang-undang KDRT, pemerintah dan
masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata serta hati untuk tidak
berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih ditingkatkan pengawasannya.
Meningkatkan peran perawat untuk ikut serta
menangani kasus KDRT dan menekan dampak yang terjadi pada kesehatan
repsoduksinya dengan memfasilitasi setiap Rumah Sakit memiliki ruang
perlindungan korban KDRT, mendampingi dan memulihkan kondisi psikisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001).
Konstruksi Seksualitas Antara Hak
dan
Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.
Dep. Kes. RI. (2003). Profil
Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003.
Jakarta: Dep.
Kes. RI
__________. (2006). Sekilas
Tentang Undang-undang Penghapusan Kekerasan
Dalam
Rumah Tangga. Diambil pada tanggal 26 Oktober 2006 dari
Hasbianto, Elli N. (1996).
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram Kehidupan
Perempuan
Dalam Perkawinan, Makalah Disajikan pada Seminar Nasional
Perlindungan
Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan seksual. UGM
Yogyakarta, 6 November.
Komnas Perempuan (2002). Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan
Indonesia.
Jakarta: Ameepro.
Kompas. (2006). Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor Idiologi.
Kompas. (2007). Kekerasan Rumah
Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri. Diambil
Monemi Kajsa Asling et.al. (2003). Violence
Againts Women Increases The Risk Of
Infant and Child Mortality: a case-referent
Study in Niceragua. The
International
Journal of Public Health, 81, (1), 10-18.
Rahman, Anita. (2006). Pemberdayaan
PerempuanDikaitkan Dengan 12 Area of
Concerns (Issue Beijing, 1995). Tidak
diterbitkan, Universitas Indonesia,
Jakarta, Indonesia.
Sciortino, Rosalia dan Ine
Smyth. (1997). Harmoni: Pengingkaran Kekerasan
Domestik
di Jawa. Jurnal Perempuan, Edisi: 3, Mei-Juni.
WHO. (2006). Menggunakan
Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Maternal dan
Neunatal:
Alat untuk Memantapkan Hukum, Kebijakan, dan Standar
Pelayanan.
Jakarta: Dep. Kes. RI.
____ . (2007). Dampak Kekerasan dalam
Rumah Tangga Bagi Wanita. Diambil pada
tanggal 25 Maret 2007 dari www.depkes.go.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar